Sadis

tak perlu ketuk pintu, cukup satu kepalan tangan melayang untuk memberinya salam pembuka, biarkan aku masuk…
aku punya urusan
aku punya dendam yang harus terbalaskan
aku punya solidaritas yang harus dibayar dengan darah
dan nyawa pun melayang, satu, dua, tiga… entah berapa lagi, mereka tersungkur dalam hina

aku tak butuh pengadilan
aku tak butuh hukum
aku sudah punya pengadilan dan hukum dengan caraku sendiri
aku ingin kalian semua tahu, nyawa harus dibayar nyawa

dan fajar pun memerah, semua terkejut dan tak menyangka, semua terheran dalam pertanyaan, siapa mereka?
bumi berkabung dalam diam, bukan karena matinya anak-anak manusia, atau karena tanahnya harus menerima mayat-mayat itu, tapi karena lara harus menjadi tempat para penghuninya yang bermusuh-musuhan dalam banyak urusan
kesenggol sedikit, bacok
keserempet sedikit, bunuh
kesinggung sedikit, bakar
hancurkan semua, habiskan semua, jangan ada yang tersisa…

angin malam berseru perih, pedih dan duka, langit menahan airmatanya dan membiarkan mendung menutup ronanya yang pucat, sungguh batas antara hidup mati hanya tipis, setipis gesekan dua benda yang tak menimbulkan goresan, sungguh harga kehidupan begitu murah, bahkan gratis diobral di pasar angkara murka
nyawa tak perlu lagi ditawar, ia adalah sekedar sesuatu dalam raga yang bisa direnggut kapan saja oleh siapa saja